Friday, June 17, 2005

Antara Demokrasi dan Nikah

Antara demokrasi dan nikah??? Apa yang ada diantaranya? Bingung?? SAMA!! Karena sebenarnya memang tidak ada yang terjadi diantara keduanya, judul tersebut saya ambil hanya di tengah kebingungan saya untuk memberikan judul dari tulisan yang tidak bermutu ini.

Tapi, terlepas dari ada tidaknya sesuatu antara demokrasi dan nikah, rasanya, selain demokrasi, mungkin nikah adalah kata yang paling populer abad ini. Atau jika tidak di abad ini, setidaknya itu lah yang terjadi di sekeliling saya. Jika di kampus, saya akan disuguhi oleh beragam wacana dan doktrin sosial-politik, budaya materialisme ataupun hedonisme yang selalu menari-nari dengan riangnya, sehingga nikah menjadi sangat jauh bahkan tidak dimasukkan ke dalam agenda kehidupan. Maka, di peer group saya yang lain, nikah menjadi pembicaraan yang selalu hangat untuk disuguhkan, bahkan ditunggu-tunggu, layaknya segelas cappuccino hangat di tengah dinginnya suasana hujan. Hehehehe… Hiporbolis yaaa???

Mungkin, wacana nikah yang kencang dihembuskan oleh peer group tersebut –sebut saja peer group X– terjadi karena telah adanya pemahaman yang bulat bahwa pernikahan adalah penyempurna hidup. Dengan menikah berarti hidup sudah sempurna menjadi satu, bukan lagi setengah. Dengan menikah berarti salah satu variabel untuk menjadi bagian dari umat Muhammad telah terpenuhi.

Nikah… Rasanya jika tangan ini diangkat setinggi-tingginya pun belum cukup menggambarkan rasa setuju saya bahwa nikah adalah penyempurna hidup, setidaknya di dunia. Nikah yang merupakan salah satu dari dua mitsaqan ghaliza, menjadikan saya begitu mensakralkan dan mengagungkan sebuah pernikahan. Tidak hanya proses pernikahan ataupun yang terjadi selama sebuah pernikahan berjalan, tapi juga dari niat atau ‘motif’ yang ada dari pra-pernikahan.

Nikah yang saya pahami adalah penyatuan hati dari dua orang yang sedang di mabuk cinta. Nikah yang saya pahami adalah sebuah legalisasi hubungan dari dua orang yang berlainan jenis. Nikah yang saya pahami adalah ‘anjuran yang harus’ dilaksanakan oleh setiap manusia yang mengaku menjadi bagian dari umat Muhammad. Nikah yang saya pahami adalah upaya untuk mengokohkan bahkan melanjutkan tongkat estafet da’wah yang telah ada di pundak setiap muslim. Dan terlepas dari konsep nikah menurut Islam, nikah yang saya pahami adalah proses pendewasaan bahkan sarana pencerdasan bagi setiap individu.

Tapi rasanya sekarang saya harus me-redefinisi atau mungkin menambahkan pemahaman saya tentang pernikahan. Karena di peer group saya yang –rasanya dulunya– mengagungkan sebuah pernikahan, entah kenapa saya melihat semakin hari semakin banyak dis-orientasi dari makna sebuah pernikahan.

Dulu, saya begitu mengagumi kawan-kawan saya yang berada di peer group X tentang konsep pernikahan mereka. Dulu, bagi saya, mereka benar-benar memaknai pernikahan sebagai ibadah, sebagai satu anak tangga yang memudahkan untuk melenggang ke sebuah tujuan besar.

Tapi sekarang??

Atau mungkin ini hanya perasaan saya saja kah? Terlebih saya telah mengeneralisir orang-orang yang berada di peer group X itu. Ah… Entahlah… Namun jika ini hanya perasaan saya saja, lalu kenapa disorientasi ini semakin nyata wujudnya oleh saya? Lagi-lagi saya hanya bisa bergumam… “Ah… Entahlah…”.

Ada satu buku bagus yang baru saja saya khatamkan, judulnya “Ulama Yang Tidak Menikah”. SUBHANALLOH, hampir habis kata-kata saya untuk mengungkapkan kekaguman atas ulama-ulama yang ditulis di buku tersebut. Tidak hanya kagum, saya pun malu… Malu sekali! Dengan kualitas keimanan yang tinggi, para ulama tersebut memilih untuk mengesampingkan si surga dunia. Padahal beliau-beliau adalah orang yang sangat mengetahui tentang keutamaan menikah dalam syariat Islam, bahkan di antara mereka ada beberapa ahli fiqih yang menulis kitab-kitab khusus tentang keutamaan menikah.

Tahukah kalian bahwa seorang Ibnu Taimiyah, yang kitab-kitabnya banyak menjadi pencerahan bagi ummat dan seorang guru dari Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah, sampai akhir hayatnya tidak menikah?! Begitu pun dengan Imam Nawawi! Seorang imam, hafidzh, guru atau tauladan bagi umat Islam dan pemimpin para wali, sampai akhir hayatnya, Imam Nawawi tetap berstatus bujang!

Hanya malu dan malu yang terlintas di hati dan pikiran saya ketika membaca buku itu. Tentu saya membacanya bukan sekedar untuk defensif-apologetik (istilahnya Mba Fira), tapi lebih dari itu, mestinya kita semua harus MALU, terutama kepada kawan-kawan (dan mungkin saya!) yang nyata-nyata telah melakukan dis-orientasi dari sebuah konsep pernikahan. Semoga Alloh melindungi saya dari paradigma sesat semacam itu…

Mungkin ada beberapa kawan yang akan memberikan pernyataan “Itu kan ulama!” atau “Itukan para assabiqul awwalun!” atau yang paling jamak “Ah, ane kan masih belajar, iman ane masih tipis, gak sebanding dong dengan ulama-ulama itu!”. Hey-hey! Jangan sekali-kali di dekat saya teriak “Tegakkan syari’ah! Tegakkan khilafah!” (silahkan periksakan diri kamu ke psikiater, mungkin saja kamu terkena split personality) kalau kalian masih memberikan jawaban seperti itu! Karena, saya tidak percaya bahwa syariat Islam akan tegak oleh orang-orang yang memiliki pendapat seperti itu. Mungkin terdengar sarkas, tapi seperti itulah pendapat saya!

Tentu saya bukan memberikan wacana untuk tabattul (membujang), sama sekali bukan! Pun rasanya kamu semua tidak sanggup untuk membujang bukan??? Tulisan ini hanya ungkapan kerinduan saya kepada satu komunitas (dalam beberapa warna) –yang dulu- di dominasi oleh orang-orang yang memiliki orientasi jelas terhadap sebuah pernikahan.

Terus terang saya bosan mendengar kalimat-kalimat yang berulang seperti: “Ah, dia berkacamata!”, “Mmm… klo bisa yang oriental”, “Maunya sih anak kedokteran”. Atau, si A kurang tinggi, si B terlalu pendek, coba si C pipinya nggak tembem, D nggak putih sih, Si E gendut ah, F kekurusan, Pendidikan G cuma SMA doang sih, kerjaan H mapan gak? Si I punya mobil tuh, J motornya masih kredit neh, dan masih banyak alasan yang bisa di ungkapkan sampai Z, bahkan mungkin lebih! Atau yang paling didambakan: “Gak macem-macem, saya cuma mau yang seperti khodijah berumur Aisyah?” Aha! Ke laut aja, Mas!

Tidak ada yang salah karena memiliki kriteria. Ibunda Zainab pun pernah tidak bersedia menikah (walaupun akhirnya bersedia, tapi kemudian cerai) dikarenakan secara fisik, Zaid (Bener sama Zaid bukan ya? Saya rada lupa euy! Klo salah wajib dikoreksi ya…) tidak memiliki kriteria yang diinginkan oleh Zainab.

Kriteria adalah satu keniscayaan! Namun, manusia tidak hidup dengan kriteria, tapi dengan kenyataan. Dimana kriteria yang didambakan belum tentu didapatkan. Ngapain juga kan kita berlelah-lelah untuk berkutat dengan kriteria dambaan kita, padahal kita belum tentu menjadi kriteria dari orang yang menjadi kriteria kita. Have you think about that????

Saya jadi ingat percakapan dengan seorang kawan pria yang bukan dari peer group X, bahkan ada beberapa bagian di tubuhnya yang dipenuhi tato, dia bilang “Fisik, kriteria atau sejenisnya itu hanya manis di hadapan kita untuk waktu sesaat, karena nafsu lebih berperan disana. Cantik ataupun ganteng bisa jelek karena tua. Kekayaan materi bisa habis dalam sekejap. Tapi pesona hati dan iman tidak akan habis dan menua dimakan usia”. Untung saya tahu kalau kawan saya ini punya seorang pacar, klo tidak, mungkin saya berpikir dia merayu saya. Huuuu… GR!!! Hehehe… Boleh dong! Well, dalam hal ini, rasanya kawan saya yang ber-tato itu lebih ter’tarbiyah’ dari orang yang sedang atau telah tertarbiyah dalam arti sesungguhnya ya? Wallohu’alam.

Akhirnya, saya meminta maaf bila ada kata-kata yang kurang berkenan. Tidak ada maksud lain, bahkan tulisan ini dibuat atas dasar rasa cinta yang berlebih kepada kawan-kawan saya di peer group X. Semoga Alloh mengangkat semua kesalahan saya dan semoga Alloh menjaga kita semua dari paradigma-paradigma sesat yang selalu menari riang di sekitar kita. Amiiiiiin……
Wallohu’alam

Di tengah kegerahan malam karena ACnya mati….

Pejaten, April 2005

“Just an ordinary mind from an ordinary person with an ordinary life”

2 comments:

Anonymous said...

What a great site » » »

Anonymous said...

kok gak sampai ceritanya?. tambah lagi donk....
keren,...
ane dah ngerasain hal demikian..
butuh pencerahan dari yang berpengalaman.