Friday, June 17, 2005

Teruntuk Pak Mulyana

Tadi malam saya baru saja menyaksikan satu acara di SCTV yang bekerjasama dengan Jakarta Lawyer’s Club (klo nggak salah namanya), dengan subjek acara “Belajar dari Kasus Mulyana”, salah satu isu yang menjadi top rating di media massa setelah isu ‘batuk’nya beberapa gunung berapi dan isu perceraian Hughes.

Acara diskusi itu mengingatkan saya akan tulisan di salah satu kolom Koran Kompas terbitan beberapa hari lalu yang bertajuk “Teori Konspirasi”. Pada kolom tersebut, si penulis mengandaikan seandainya saja Dan Brown, seorang novelis asal Amerika Serikat datang ke Indonesia. Hmm… Tapi kenapa novelis yang mesti datang ke Indonesia? Bukankah bangsa ini memiliki limpahan novelis? Dan bukankah yang dibutuhkan bangsa ini lebih dari sekedar novelis?


Dan penulis itu memberikan alasan yang menarik, karena menurutnya, melalui novel “The da Vinci Code”, Dan Brown berhasil ‘menyiksa’ pembaca untuk mencurigai beberapa orang –yang saya lupa nama tokoh-tokohnya- sebagai pembunuh. Dan pembaca baru akan puas dan tahu siapa pembunuh sebenarnya ketika telah menyelesaikan halaman-halaman terakhir sambil berkata “Oh, ternyata pembunuh sebenarnya si X”.


Menurut penulis lagi, jika Dan Brown datang ke Indonesia, pastilah ia mendapatkan tumpukan bahan untuk novel terbarunya yang penuh berisi teori konspirasi. The Commission of ‘Saweran’ atau The Real ‘Dalang’ behind Mulyana, penulis yakin, 2 alternatif judul novel itulah yang akan dipilih Dan Brown jika benar dia datang ke Indonesia.


Secara diam-diam dan tidak kita sadari ternyata masyarakat Indonesia adalah penikmat bahkan mungkin pemanfaat konspirasi. Everyone loves conspiracy! Satu teori klasik yang saya percaya akan kekal keberadaannya.


Ya, masyarakat Indonesia sudah terlalu kenyang dengan satu makanan yang disebut konspirasi. Masyarakat ini amat sangat menikmati sebuah kata yaitu ‘katanya’. Dengan berbekal ‘katanya’, orang berbondong-bondong menciptakan teori untuk tiap kejadian, lalu kemudian diperparah dengan penyanderaan oleh pernyataan ‘wait and see’, padahal seringnya, sampai lelah masyarakat melakukan ‘wait and see’, action dan hasilnya pun hanya nol besar.


Katanya kalau anak gunung Krakatau meletus maka gunung yang lain pun menyusul.

Katanya Pollycarpus cuma kambing hitam.

Kataya Mulyana W Kusumah hanya korban dari sebuah kebusukan besar.

Dan katanya… saya sudah terlalu lelah untuk meneruskan tulisan ini ;)

Terakhir, buat Pak Mulyana, seorang akademisi FISIP UI yang begitu dikagumi karena kecerdasan dan kesederhanaannya, sekarang semua ada di tangan Pak Mulyana seorang nih, memilih menjadi ‘pahlawan’ atau pindah ke ‘istana’ prodeo seorang diri?


02.35 WIB

Angsana Raya, 2005

“Just an ordinary mind from an ordinary person with an ordinary life”

No comments: