Thursday, June 09, 2005

Ketika 'Lisa' Mengutuk Tuhan

Ketika saya menulis ini, baru saja saya “bertemu” dengan seorang kawan lama di Yahoo Massanger. Pertemuan yang cukup menggelitik pikiran saya. Sebut saja namanya Lisa. Lisa adalah kawan saya di Sekolah Menengah Pertama yang sekarang bekerja sebagai account executive di sebuah Perusahaan Modal Asing di Jakarta. Bisa dibilang, untuk ukuran seusia kami –23 tahun, red- kawan saya tergolong sangat sukses. Dengan usia tersebut, sebulan dia dapat dapat mengantongi 10 – 12 juta, bersih, hanya dengan gajinya sebagai account executive. Jauh… jauh dari saya yang masih menengadahkan tangan ke orang tua. Walaupun sudah memiliki keyakinan bahwa rejeki, jodoh dan maut telah ‘ditanam’ di perut setiap manusia, tp jujur, saya iri dengannya. Apalagi ketika satu kali, teman saya yang lain, yang satu sekolah dengan kami bercerita bagaimana Lisa berkuliah di Australia, lalu ketika kembali ke Indonesia mendapatkan posisi pekerjaan dengan gaji yang menggiurkan dan kemudian menikah dengan expatriat asal Inggris. Hmmmm… Betapa sempurna hidup Lisa.

Namun, saat rasa iri sempat berinkubasi di hati saya, Lisa menceritakan hal-hal yang sontak membuat saya kembali mensyukuri semua yang saya miliki. Kalau boleh mengutip salah satu artikel sebuah biweekly magazine-nya mal terkemuka di Jakarta; “Ternyata memang yang indah-indah seringkali lebih di dominasi oleh fantasi ending film-film Hollywood, karena kenyataan kerap ‘keluar pakem’.” Yup! Dan itulah yang terjadi kepada Lisa. Lulusan Australia, istri seorang expatriat, dengan gaji 10 – 12 juta, ternyata hanya bingkai indah.


“Gw akan mati muda!”, kalimat itulah yang mengawali cerita kebobrokan hidup Lisa. Dengan segala variable untuk hidup enak di dunia ini, Lisa harus menghadapi kenyataan bahwa Tuhan ‘mengutuk’ dirinya. Setidaknya, itulah anggapan Lisa.


“HIV+, that’s me!” ujar Lisa. Ternyata, ketika Lisa menjauh dari Indonesia ke Australia, tepatnya Sydney, Lisa pun menjauh dari Tuhan. Predikat Islam yang setidaknya tercantum di KTPnya, telah benar-benar hilang dari dirinya. Free sex and drugs! “Those things, which filled my everyday life”. Terlalu mirip sinetron bagi saya, aaagghhh…. tapi bukankah terkadang sinetron dibuat berdasarkan kehidupan sehari-hari? Jadi rasanya wajar saja jika sinetron bertransformasi ke dalam kehidupan sehari-hari.


Chatting yang di dominasi oleh Lisa itu meng-eksplisit-kan bahwa saat Tuhan ‘mengutuk’ dirinya, Lisa pun balik mengutuk Tuhan. Setidaknya ada 3 quote yang dapat saya simpulkan dari ‘kutukan’ Lisa kepada Tuhan.

1. ‘Mengutuk’ karena kelengahan Tuhan saat dirinya asik ‘bercinta’ dengan drugs and free sex.

2. ‘Mengutuk’ karena kelambatan Tuhan menegur dirinya untuk menyadari “How stupid I am!”.

3. ‘Mengutuk’ karena Tuhan telah ‘mengutuk’nya dengn penyakit terkutuk.


Hmmmmm… Terlalu banyak kata-kata kutuk bukan?


Lisa pun bertanya, jika benar Tuhan menyayangi setiap hambanya, mengapa Tuhan terlalu jahat untuk memberikan cobaan? Jika Tuhan menyayangi hambanya, kenapa Tuhan tidak membiarkan hambanya berpikir dan merasakan apa yang Tuhan inginkan, tanpa ada godaan, bukankah Tuhan menginginkan setiap hambaNya untuk masuk ke surgaNya? Pertanyaan yang sekilas terlihat benar.


Tapi untuk saya, pertanyaan Lisa lebih mirip sebuah apologi dan terlalu naïf. Naïf karena telah berpikir Tuhan mengutuk dirinya. Mengapa Lisa tidak berpikir bahwa Tuhan sayang dengannya, karena masih membiarkan oksigen mengalir ke otaknya? Masih memberikan kesempatan untuk menjadikan hidupnya bermanfaat. Padahal mudah saja bagi Tuhan menghentikan napas Lisa kapan saja, setelah Lisa ‘menghina’ Tuhan dengan drugs dan free sex. Mengapa Lisa tidak mengisi sisa hidup –yang entah kapan berakhirnya itu- dengan mengeluarkan seluruh energi untuk menyayangi Tuhan? Mengapa Lisa…???


Namun, pertanyaan ‘Mengapa Lisa…?’ itu pun tidak saya sampaikan hingga akhir pembicaraan. Entah, karena saat itu jari saya terlalu malas untuk mengetik pertanyaan-pertanyaan tersebut, atau karena saya terlalu takut pertanyaan saya akan merusak hubungan humanis saya dengan Lisa. Tapi yang jelas, bagi saya Lisa telah tidak adil menilai Tuhan. Tuhan berhak memang berhak melakukan apa yang Dia mau, karena Dia lah yang memiliki semuanya. Malah, lagi-lagi bagi saya, seharusnya setiap manusia bersyukur karena telah diberi kesempatan hidup, diberi kesempatan untuk merasakan bagaimana indahnya hidup yang merupakan jalan untuk menempuh hidup abadi kelak di surgaNya. Itu bagi saya, lalu bagaimana dengan kamu?

Also can view this writing @ Open Mind minimagz

No comments: