Kemenangan yang Kamuflase

Allahu akbar, allahu akbar, allahu akbar…

Takbir akhirnya bergema menandakan akhir perjuangan dan awal kemenangan selama satu bulan penuh shaum Ramadhan.

Bagi umat muslim, Idul Fitri adalah titik kulminasi untuk kemenangan selama sebulan penuh menahan hawa nafsu, baik yang terlihat maupun tidak.

Satu Syawal memang sudah lewat, dan sekarang kita semua telah disibukkan dengan rutinitas harian; bangun, berangkat pagi, mengutuk kemacetan jalan-jalan ibukota, melewati berjam-jam tugas kantor, berpikir atau melakukan hal-hal yang kontra-produktif, pulang malam, tidur, dan begitu seterusnya. Tidak ada yang berubah, sama seperti sebelum Idul Fitri.

Padahal seharusnya Idul Fitri yang tidak hanya terjadi di 1 Syawal, tapi penuh selama bulan Syawal, adalah momen awal bagi revolusi kehidupan manusia.

Dilihat dari dimensi dasar Islam sebagai Rahmatan lil ‘alamin, arti kemenangan untuk Idul Fitri mestinya tidak sebatas pengertian linguistic, atau hanya sekedar wacana pemanis. Lebih dari itu, Idul Fitri harusnya adalah kemenangan bagi umat, tidak hanya umat Islam secara personal, tapi juga public secara umum. Apalagi di negara yang mayoritas penduduknya muslim.

Namun ternyata kemenangan public tidak terjadi di Indonesia yang memiliki penduduk muslim terbesar di dunia. Di satu sisi, ketika rakyat sedang berteriak lapar, mati karena antri dana kompensasi, atau menunggu berjam-jam hanya demi uang shodaqoh 10 ribu, maka di sisi lain, negara semakin korup dan yang paling segar adalah para wakil yang seharusnya berteriak demi rakyat, malah di beri kenikmatan fasilitas dengan kenaikan insentif hampir menyentuh angka 40 juta rupiah.

Lucunya, sebagian besar wakil rakyat menganggap itu hal wajar dan memang seharusnya terjadi. Menurut mereka, kenaikan insentif yang akan teralokasikan ke partai ini perlu demi kelancaran dalam berkomunikasi bagi para konstituen yang mereka wakilkan. Menurut mereka lagi, tanpa adanya kenaikan insentif banyak terjadi kesulitan-kesulitan untuk menyalurkan suara para konstituen, terutama karena kondisi dan jarak yang begitu jauh dari pusat rumah rakyat di Senayan sana.

Dengan reputasi buruk dan budaya korup dari 95% anggota dewan, adalah mimpi jika kenaikan insentif benar teralokasi untuk para konstituen yang berteriak lapar di pelosok sana.
Padahal bukanlah mimpi jika kenaikan insentif yang berjumlah triliyunan rupiah per tahun itu teralokasi untuk pembangunan puluhan ribu sekolah baru, untuk jutaan rumah layak huni, untuk mencerdaskan puluhan juta generasi yang hampir hilang, untuk mensubsidi BBM yang mestinya berhak dinikmati murah oleh rakyat miskin, atau bahkan membayar hutang bangsa ini kepada lintah darat negara kapitalis.

Dengan memegang teguh prinsip “Hiduplah dengan mimpi!” ternyata bangsa ini lebih memilih mimpi daripada kenyataan dengan meng-amini kenaikan insentif para pelayan rakyat.
Memang terkadang hidup dengan mimpi dapat membawa manusia di puncak keberhasilan hidupnya. Itu jika mimpi berakhir indah! Tapi, bagaimana jika mimpi berakhir buruk? Dan kira-kira, dengan kondisi seperti ini, akhir seperti apakah yang akan di dapat bangsa ini, berakhir indah? Atau malah sebaliknya, buruk!

Jadi, agar tidak berakhir mimpi buruk, dengan momen Idul Fitri dalam perspektif kemenangan, Indonesia harus bangun, kemudian mempersiapkan segala keperluan untuk kembali “tidur” yang akan menghasilkan mimpi indah. Sehingga, Idul Fitri akan menjadi kemenangan yang sebenarnya, bukan kemenangan yang kamuflase.

Wallahu’alam…

03.45
Samudra ke delapan, 9 November 2005

“Just an ordinary mind from an ordinary person with an ordinary life”