Hari ini saya menerima undangan makan malam dari seorang kawan untuk merayakan ulang tahunnya. Tadi, sekitar ½ 7 malam, saya dijemput oleh kawan yang sedang berulang tahun tersebut bersama 4 orang kawan lainnya. Rencana telah dibuat, kawan saya telah memesan sebuah restoran di kawasan Senayan, setelah selesai makan, kami akan mampir ke Roti Bakar Eddy, menemui beberapa kawan lainnya, baru di lanjutkan dengan ber-karaoke hingga lelah di daerah Kemang, untuk yang terakhir ini saya telah memberitahu dari awal bahwa saya tidak akan ikut!
Untuk merangsang rasa lapar yang lebih, begitu tiba di kawasan Senayan, kami tidak langsung menuju Hilton, kami windows-shopping dulu di Plaza Senayan –hal yang jamak dilakukan ketika perempuan berkumpul–. Saya sendiri adalah orang yang cukup malas untuk sekedar ’liat-liat’, bagi saya, Mal berguna untuk belanja dan makan. Hanya buang waktu, energi dan biaya serta bikin kepengen kalau ke Mal dihabiskan untuk sekedar ’liat-liat’ dan hanging-out. Tapi rasanya itu hanya apologi, karena mungkin perasaan tersebut terbentuk mengingat kondisi keuangan saya yang tidak memungkinkan, beda halnya dengan beberapa kawan saya yang terhitung high-class, mungkin akan ada perasaan yang berbeda ketika saya berada dalam posisi high-class seperti beberapa kawan saya yang lain.
Tapi, mari kita tinggalkan soal ‘liat-liat’, hanging-out dan high-class tersebut, mari kembali ke makan malam, yang memang menjadi inti dari cerita saya ini.
Setelah masuk counter satu ke counter lain selama hampir 1 jam, dan rasa lapar mulai menjelajah di perut kami, akhirnya kami meninggalkan Plaza Senayan, kemudian menuju ke Hilton.
Hilton, hotel mewah bintang lima di kawasan Senayan, yang biasa digunakan oleh Event Organizer sebagai akomodasi untuk artis luar negeri yang mereka undang ke Indonesia, penginapan yang digunakan oleh Pemerintah Indonesia untuk menjamu delegasi dari negara lain, atau tempat kaum borjuis yang memang ingin menghabiskan waktunya dengan berbagai alasan. Hilton, hotel yang beberapa kali saya datangi, tapi tidak pernah terlintas di pikiran untuk makan di restoran Hilton, karena harganya yang FANTASTIS, apalagi untuk menginap (for what gitu lhoh… Saya kan tinggal di Jakarta!). Tapi malam ini, saya yang tergolong proletar, menghabiskan makan malam di Hilton!
Malam ini akhirnya saya dapat mempraktikkan ilmu table manner yang pernah saya ikuti. Makanan ala eropa yang memiliki tahapan penyajian dari appetizer, main menu, hingga dessert ini membuat saya sedikit berpikir: Sesusah inikah makan bagi kaum borjuis? Banyak aturan baku yang berlaku, padahal hanya untuk sekedar makan! Thanks God, malam ini, saya makan bersama kawan-kawan sendiri, jadi batasan baku yang dibuat sedemikian rupa dalam nama table manner itu praktis tidak berlaku.
Makan malam ‘seru’ yang disertai obrolan seru –girls talk!– tersebut selesai kurang lebih pukul ½ 10 malam, tiba saatnya membayar. Walaupun saya di traktir, entah kenapa otak ekonomis saya selalu berjalan untuk menghitung-hitung berapa banyak uang yang kawan saya akan keluarkan. Karena kami ber-enam, dengan menu komplit khas Eropa dan minimnya pengetahuan harga makanan di tempat seperti itu, saya perkirakan, kawan saya akan mengeluarkan uang sedikitnya 600 ribu.
And when the bill came…. GILA!!!! Jauh di luar perhitungan saya, angka yang tertulis di tagihan tersebut sebesar…… Coba, kalau Anda membaca tulisan ini dan rajin menghitung, tebak berapa biaya yang dibayar kawan saya itu! Bisa menebaknya??? 600? 700? 800? 900? 1 juta kah??? Ayo anak-anak, kumpulkan!
Tapi sudahlah, agar Anda sekalian tidak usah pusing menghitung biaya makan yang tidak Anda makan itu, maka dengan sukarela saya memberitahu biaya makan malam ini. Dua juta enam ratus tiga puluh lima ribu rupiah!!!! SINTING!!!! Sekedar untuk makan!
Dengan sedikit malu, saya mencuri lihat ke kawan saya yang akan membayarnya. Tidak ada perubahan di raut mukanya. Dengan tenangnya dia mengambil kartu kredit yang ada di dompetnya kemudian memberikan kepada si pelayan.
Tiba-tiba kepala saya sedikit pening, dan PLAK!!! Saya memukul sendiri kening saya yang malam ini ditutupi kerudung berwarna pastel. Dalam hitungan detik, saya bergegas ke toilet, saya sempat melihat mimik heran dari kawan-kawan saya, namun saya tidak terlalu mempedulikan, yang saya pikirkan hanya menuju ke toilet. Dan…. Huek, huek, huek….. bak seorang penderita anorexia, saya memuntahkan makanan yang malam ini saya santap. Bukan, bukan karena saya penderita anorexia, pun karena bukan makanan yang telah sampai ke perut saya ini tidak enak!
Namun, saat kawan saya memberikan kartu kreditnya, entah kenapa, perut saya menjadi mual, bersamaan dengan otak kanan saya yang secara otomatis membuka kejadian beberapa hari lalu di Stasiun Manggarai. Kejadian –yang pada saat itu– begitu menyentuh hati dan pikiran saya.
Siang itu, setelah selesai memberikan les privat di kawasan bukit duri, saya ke Stasiun Manggarai untuk menuju ke kampus saya yang terletak di daerah Depok. Setelah membeli tiket, saya menunggu di peron tujuan Bogor sambil membaca Supernova terbaru dari Dee. Belum begitu lama saya menekuri buku –yang bagi saya ternyata tidak terlalu menarik– itu, saya terganggu oleh suara kumpulan orang yang bergerombol di sisi lain stasiun, entah apa yang ada di pikiran saya waktu itu, saya pun turut ke kumpulan orang-orang tersebut.
Innalillah….. ada dua orang anak kecil yang terkapar lemas dengan mulut berbusa. Di samping mereka, ada seorang perempuan setengah baya, yang ternyata adalah ibu dari kedua anak tersebut. Ibu itu hanya menangis berteriak "Astaghfirulloh, Alloh.. Alloh..., anak ku, anak ku...“ berulang-ulang. Beberapa orang berusaha menenangkan ibu tersebut, sedang yang lainnya sibuk memeriksa kondisi dua anaknya.
Saya kembali ke tempat duduk saya dengan kumpulan pertanyaan dan berbagai kemungkinan jawaban. Belum sempat saya menyelesaikan pertanyaan dan jawaban dari hati ini, seorang ibu penjual pecel & mie goreng di samping tempat duduk saya berkata kepada orang-orang disekitarnya, “Gue kirain tuh anak bo’ongan kagak punya duit, eh, tau-taunya tuh anak dua malah minum baygon. Tau gitu, gue kasih gratis deh nih mie, kagak usah bayar! Gue jadi ngerasa dosa ini mah!“. Lalu ada tukang buah yang menimpali, “Makanya, jangan pelit-pelit luh! Pan kita sama-sama orang susah. Tau nggak luh? Katanya tuh bocah dua bunuh diri minum baygon saking lapernya, mending mati kali daripada laper!“. “Lah, mana gue tau klo tuh anak nggak bo’ong. Nah elu tau ndiri disini banyak yang ngaku-ngaku belon makan, klo tiap orang yang ngaku laper gue kasih gratisan, bangkrut dong gue!”, bela si ibu. Dengan seksama saya ikuti percakapan si tukang buah dan ibu penjual mie yang memakai bahasa betawi pinggiran tersebut.
Ternyata, dua orang anak yang mencoba bunuh diri itu sebelumnya datang ke ibu penjual mie. Mereka hanya punya uang 300 rupiah, dan mengaku bahwa dari kemarin sore mereka belum makan nasi. Mereka meminta kepada si ibu penjual mie, agar dapat di berikan nasi dan mie dengan uang 300 rupiah. Namun, penjual mie tersebut bilang, mie dan nasi itu harganya dua ribu, mereka disuruh kembali ke dia, jika punya uang dua ribu rupiah.
Dua ribu rupiah, separuh harga dari ongkos Tanjung Priok – Depok. Dua ribu rupiah, separuh harga untuk setiap jam nya dari rental internet yang hampir setiap hari dalam waktu berjam-jam saya lakukan. Dua ribu rupiah, harga 1 botol air mineral, yang dalam sehari bisa saya konsumsi minimal 2 botol. Dua ribu rupiah, harga 2 buah batere untuk Diskman yang biasa menemani aktivitas saya. Dua ribu rupiah, 1/12 dari harga voucher 20 ribu yang biasa saya isi ulang 2 minggu sekali. Dua ribu rupiah, 1/70 dari harga sepatu yang baru saya beli. Dua ribu rupiah, 1/200 harga makanan untuk satu porsinya dari makanan yang baru saja mengisi perut saya. Dua ribu rupiah, 1/1317 yang kawan saya bayarkan dari makanan yang baru saja kami konsumsi ber-enam! Dua ribu rupiah… Yang menyebabkan dua orang anak memilih untuk meminum obat serangga, daripada menahan rasa lapar! Huek, huek, huek!!!
Saya kembali ke meja tempat kami makan. Dengan alasan tidak enak badan, saya minta ijin untuk pulang duluan. Jelas kawan-kawan saya heran, karena dari berangkat hingga makan tadi, saya dalam kondisi yang sangat baik. Tapi saya tidak terlalu memperdulikan keheranan mereka, yang saya pikirkan hanya cepat-cepat keluar dari tempat yang membuat saya semakin mual.
Mengetahui bahwa kawan saya telah memiliki rencana dari Hilton ini, maka saya menolak untuk diantar, dengan dalih saya akan menggunakan taksi. Tanpa menunggu lama, saya cepat-cepat pamit dan keluar dari tempat itu. Di pintu utama, saya menunggu taksi yang telah di panggil oleh office boy, tapi begitu taksi tiba, saya mengurungkan niat untuk menggunakan taksi tersebut, saya memilih untuk berjalan kaki ke tempat menunggu bis.
Ketika, saya tiba di rumah, saya langsung menuju ke toilet (lagi!), dan huek-huek-huek…. Saya mencoba memuntahkan makanan, yang kalau-kalau masih tersisa di perut ini.
Masya Alloh..… Saya merasa begitu hina, karena sering menganggap remeh uang dua ribu rupih. Saya merasa begitu bodoh, karena terlalu gampang menghamburkan uang dua ribu rupiah. Saya merasa begitu dungu, karena hampir saja melakukan kebodohan kembali dengan menggunakan taksi yang argonya mungkin hampir 10 kali lipat dari dua ribu rupiah. Saya merasa sangat berdosa, karena telah mengkonsumsi makanan 200 kali lipat dari dua ribu rupiah. Saya merasa… Aaaaahhh… Sayangnya saya hanya merasa……
Pejaten, 2005
“Just an ordinary mind from an ordinary person with an ordinary life”
No comments:
Post a Comment